Sumber Hukum Islam
Sumber Hukum Islam
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’
merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak
ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan
ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka
menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama
pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah
al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum
syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang
disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan
(mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al
Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan
dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan
di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân,
maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam
berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum
yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang
diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh
adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber
hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum,
namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati
jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus
ke Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika
mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan
permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi
berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum
dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah
Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam
ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi
Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai
Rasulullah Saw”.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh
Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk
kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak
ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia
pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul
Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat
dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
A. IJTIHAD
PENGERTIAN IJTIHAD (اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan
segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk
berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan
selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama
Islam.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad
adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang
terperinci di dalam syari`at.
Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha
sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum
syari`at”.
Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad
adalah qiyas.
TUJUAN IJTIHAD adalah untuk memenuhi keperluan umat
manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat
tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
JENIS-JENIS IJTIHAD
Ijma' artinya sepakat yakni sepakat
para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an
dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah sepakat bersama yang
dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan
disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan
ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah
sepakat semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat
Rasul Saw atas hukum syara'
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya
sepakat para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid
apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena
‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara
satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum
syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka.
Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para
mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka
secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak
terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam
dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat
salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua
para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan
kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan
jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak
itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di
atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca
kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan
negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak
setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan
perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah
hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib
diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak
boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena
hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan
tidak dapat dihapus (dinasakh).
Qiyas artinya menggabungkan atau
menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum
ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam
Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi)
1.
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan
titik persamaan di antara keduanya.
2.
Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan di antaranya.
3.
Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam
[Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Qiyas menurut ulama ushul adalah
menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan
cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan
hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat
akan melahirkan hukum yang sama pula.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas
akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama
mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai
dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits,
pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama
sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat
nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan
illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang
berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah
tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil
Al Qur’an dan hadits.
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat
bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik
dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara
analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya
menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan
dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara
ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu
tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa
benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka
Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas,
sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah
khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda
kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal
ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah
mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum
yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya
ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu
macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai
qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan
kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang
mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa
qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu
kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian)
‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah,
jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak
memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena
arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak
memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil
rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah
untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam
menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya
terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan
tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber
hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan
dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas
menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan
syariat dan maslahah.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum
nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash
hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam
dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk
fara’.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal
atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
Istihsan
Beberapa definisi Istihsân
1.
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena
dia merasa hal itu adalah benar.
2.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya
3.
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.
4.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang
ada sebelumnya.
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan
pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan
menghindari kemudharatan.
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi
makruh atau haram demi kepentinagn umat.
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan
sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu
adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan
MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA
Mujtahid ialah orang yang berijtihad.
Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat
ijtihad.
Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat
:
-
Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam
hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
-
Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan
(`adalah).
Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai
mujtahid apabila mempunyai dua sifat :
-
Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan
menyeluruh.
-
Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap
tujuan-tujuan syari`at tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua
syarat yaitu Mengetahui apa yang ada pada Tuhan dan mengetahui/percaya adanya
Rasul & apa yang dibawanya juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.
Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya
sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan stentang Al Qur’an,
tentang Sunnah, tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang
disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan
syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid
al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid
kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah
secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum
berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.
TINGKATAN MUJTAHID
1.
Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa
dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki,
Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.
2.
Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk
berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti
jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.
MACAM-MACAM IJTIHAD
Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h.
594), membagi ijtihad kepada tiga macam;
Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan)
hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.
Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an)
hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al
Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam
nash-nash hukum syar`i.
Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum
syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al
Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.
B. TAQLID
Secara bahasa taqlid berasal dari kata قَلََّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ(yuqollidu) – تَقْلِيْدًا(taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru,
menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan
perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid
ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat
serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau
salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan
(pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau
dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa
dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik
yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun
nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah
yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada
zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari
berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang
tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ
مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir
dan yang menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang
telah Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa
yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang
mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah
swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).
Hukum Taqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para
ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid
yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid
ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau
pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an
Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia
pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang,
sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
Taqlid yang dibolehkan
Adalah taqlidnya seorang yang sudah
mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja
sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada
orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan
tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya
sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak
ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya
orang awam kepada ulama.
Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam,
membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib
bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad,
sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa
mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang
mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang
diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan
tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda)
sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak
nampak dalil baginya”
Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang
perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan
Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah
swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an
dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu
mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ
ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan
ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)
lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita
selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak
memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang
agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada
Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah
diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’
kepadanya.
Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang,
khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam
mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan
Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau
pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab
tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari
orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid
yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam
kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu
Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau
mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari
fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang
walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap
perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu
sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau
akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya
itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan
menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para
sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar
diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah
ditinggalkan.
Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya
diantaranya,
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ
آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ
مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ
أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ
بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ قَالُوا إِنَّا بِمَا
أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
Bahkan mereka berkata:
"Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan
sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak
mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi
peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut
suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul
itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu
dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami
mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS.
az-Zukhruf[43] : 22-24)
Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’
Terdapat perbedaan antara taqlid dan
ittiba’ diantara hal yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan
ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan
perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:
Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak
halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana
kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu
dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”
Kedua, Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya
aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang
sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai
dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”
Ketiga, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika
kalian menjumpai sunnah Rasulullah saw, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian
menoleh kepada perkataan siapapun”
Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian
ada hadis shahih yang menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk
diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”.
Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah
engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari
Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika
seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya”
Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada
Mereka
lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang
mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama
mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada mereka
pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam
tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini
secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam
ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka
sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt . Maka
barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan
sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini
tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang
menyelisihi mereka.
Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang
mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang
dijadikan perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali
Rasulullah saw.
C. ITTIBA`
Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari
bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ)yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna
dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan uswah(أسوة) (berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan
mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna
menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.
Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti
pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan
dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan :
"Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka
engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah
mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan
Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam
sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah
menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana
atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash.
Ittiba` adalah lawan taqlid.
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang
membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa
ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak
boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para
ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris
para Nabi).
3. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar
setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran
agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan
sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan
menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan
syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
Ittiba’
Kepada siapa kita wajib ittiba’?
Dari penjelasan diatas bisa kita
simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’ kepadanya adalah mereka yang
pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rasulullah saw
adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt
berfirman,
قال الله تعالى : ﴿ لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ﴾
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri
teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah." (QS.
Al-Ahzab[33]:21).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ وَمَا
آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS.
Al-Hasyr[59]: 7).
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba’ adalah
seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.
Ittiba’ kepada Nabi saw dalam keyakinan
akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan
bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah
merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak
kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.
Ittiba’ kepada Nabi saw dalam perkataan
akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya.
Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda
beliau saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : .....صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ...(رواه البخاري)
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.”.(HR. Bukhori).
Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat
seperti shalat beliau.
Sedangkan ittiba’ kepada Nabi saw di
dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan
perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak
disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam
meninggalkannya, dengan alasan karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini
adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.
Hukum Ittiba’
Seorang muslim wajib ittiba’ kepada
Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang
beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim
agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt.
قال الله تعالى : ﴿ قُلْ
أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْكَافِرِينَ﴾
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali
lmran[3]: 32).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah swt dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah
swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).
Demikian juga Allah swt memerintahkan
setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat
Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang
menyeleweng darinya:
قال الله تعالى : ﴿ وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ
غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
(QS. An-Nisa’[4]: 115).
Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu
seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting
yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah
salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa
syarat diterimanya ibadah ada dua:
1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt
semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan
oleh Rasulullah saw.
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak
sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah swt, niat
yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka
barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt
semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima
oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut,
maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang
sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu
sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita
dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka
amalnya baik."
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran
cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya:
"Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta
kepada Allah swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang
yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt sampai
dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan
tindak tanduknya."
Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama
wali-wali Allah swt
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya
menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaitan,
diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt dengan ucapannya:
"Tidak boleh dikatakan wali Allah swt kecuali orang yang beriman kepada
Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir
maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai
wali Allah swt, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia
berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt
dan sebagai wali syaitan."
Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata:
"Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk
senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak memuliakan
hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan
kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya
yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada
wali-wali Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah
wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
قال الله تعالى : ﴿ أَلَا إِنَّ
أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]:
62).
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba'
yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal
yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah swt
menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala
aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa
husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.
D. TALFIQ
Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi
yang berbeda”.
Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti
hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai
macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau
pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut
madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam
agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan
pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan
mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari
yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan
sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi
talfiq itu hakekatnya pada niat.
Pendapat-Pendapat tentang Talfiq
Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab
tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai
kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat
tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab
yang ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan
maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya.
Ruang Lingkup Talfiq
Talfiq sama seperti taqlid dalam hal
ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-perkara ijtihad yang bersifat
zhanniyah(perkara yang belum diketahui secara pasti dalam agama). Adapun
hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma’luumun minaddiini
bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma’, yang mana
mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi
talfiq.
Hukum Talfîq
Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq.
Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan.
Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas
keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah
ketetapan.
Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq
adalah menyalahi ijma'.
Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada
perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan
pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum
suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat
ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya
'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat,
pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo
'iddah(‘iddah melahirkan dan ‘iddah yang ditiggal oleh suaminya karena
kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan
beberapa bulan saja.
Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam,
terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena
meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga)
adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari
dua sisi:
1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila
permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa
permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan,
sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah
permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka
tidak terjadi pendapat ketiga.
2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam
permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama.
Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah
wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan
menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia
memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada
sisi yang disepakati (ijma').
Dengan demikian, pendapat yang
mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al
faariq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma'
atas keharaman talfiq, akan tetapi realita yang ada sangat bertentangan.
Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah Al Amîr dan Al Fâdhil Al Baijuri
telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut. Maka
klaim adanya ijma' adalah bathil.
Berkata Al Syafsyawani tentang
penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah masalah: ”Para ahli ushul
berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut pandang adalah
kebolehannya (talfiq).”
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata:
”Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal
itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan
i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran ataupun
persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma',
pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”
Dalil Kelompok yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil
dengan beberapa alasan:
Alasan Pertama
Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah
yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang
berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita
sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga
kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat
yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya
kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka
bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu
Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka
berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.
Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu
itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada
dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain.
Dan para iman mazhab yang empat itu pun
demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid
kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak
ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam
mazhab sendiri?
Alasan Kedua
Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa
bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi
yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar
di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka
hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Maka secara
pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau
tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini
berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
Alasan Ketiga
Nabi saw melalui Aisyah disebutkan:
“Nabi tidak pernah diberi dua pilihan,
kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa
dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling
menjauhi hal tersebut “.
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua
pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah
satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk
mengerjakan yang lebih ringan.
Itu nabi Muhammad saw sendiri, seorang
nabi utusan Allah swt. Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk
melakukan apa yang telah nabi lakukan?
Dan ini merupakan salah satu dasar
tegaknya syariat Islam yaitu member kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat
kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi Muhammad saw:
“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan
tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.
Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah:
‘Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan
bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa
madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan
alasan bahwa agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman
Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 78:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa,
praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya
perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab
yang diikutinya.
Demikian juga dengan para ulama
kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau
talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal tanpa disertai
main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali
tidak mengandung maslahat syar‘iyat.
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan
lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil
oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya
Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam
dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di
suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut
dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya
dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut
harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau
Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas
atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka
umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad
adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pelaku Ijtihad
adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai
oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum
khuluqi,
3. Status hukum
syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan
definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang
pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator
Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad
adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u
‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379). Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara
pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang
nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah.
Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan
saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh),
tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang
dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya
berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan
tertentu.Wallohu A'lam
Terima kasih kami haturkan pada segenap
mahasiswa dan dosen ushul kami serta segala pihak yang telah menunjang
terselesaikannya makalah ushul fiqih ini. Mohon maaf atas segala khilaf dan
salah. dalam isi makalah ini yan tidak lain adalah copy paste dari beberapa
website yang kami jadikan referensi. Terimakasih
Wallohul Muwafiq ila aqwamit Thoriq
login Laku4D merupakan situs penyedia Slot online dengan RTP terbaik dan bandar judi togel online terbaik di indonesia. LOGIN LAKU4D sering di katakan sebagai situst slot online terbaik di indonesia karna pendukung dari berbagai jenis provider slot andalan para pemain slot online di indonesia.
ReplyDelete